24 April 2021 - BY Admin

DIY Terus Upayakan Pendewasaan Usia Perkawinan

Yogyakarta, (24/04/2021) - Kartini masa kini memiliki permasalahan harus dicarikan solusi yakni angka perkawinan anak yang terus meningkat, didominasi akibat kehamilan tidak diinginkan. Data kajian Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DP3AP2 DIY sepanjang 2018 - 2020, dari 1.705 permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Tinggi Agama kabupaten/kota se-DI Yogyakarta, 857 di antaranya anak usia dibawah 19 tahun. Bahkan 3 diantaranya usia masih 13 tahun.

Peran bebagai pihak sangat diperlukan untuk menekan bahkan menghapus perkawinan anak. Karena perkawinan anak memiliki dampak negatif mulai dari kesehatan reproduksi, hingga berujung pada KDRT. "Perkawinan anak dibawah usia 19 tahun itu menimbulkan banyak dampak negatif. Dari sisi kesehatan, fisik belum siap, terutama terkait reproduksi untuk mengandung dan melahirkan, kedua, menjadi potensi kemiskinan baru, karena keluarga rentan sangat awal membina keluarga, ekonomi yang buruk berpotensi pada terjadinya perceraian," jelas Erlina pada Talkshow Pendewasaan Usia Perkawinan di Gedung DP3AP2 DIY, Rabu (21/4/2021).

Selain itu, perkawinan anak di bawah usia 19 tahun juga berdampak pada putus sekolah. "Meski ada layanan kesetaraan dll karena mereka harus asuh bayi, jadi tidak terakses juga. Terutama perempuan. Dan ini kemudian berdampak lagi, kerentanan perempuan mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, karena ketidaksiapan berkeluarga," terangnya. Erlina menambahkan idealnya, perkawinan dilakukan saat kedewasaan fisik biologis, cara berpikir psikologi mindset benar-benar siap. "Dari sisi kesehatan reproduksi, minimal 21 tahun untuk perempuan, dan laki-laki 25 tahun untuk memulai membina keluarga. Tapi secara Undang Undang minimal 19 tahun untuk perempuan," tambahnya.

Diperlukan kerjasama lintas sektor untuk menunda usia perkawinan. "Harus diperbanyak program untuk anak agar mempunyai aktivitas mengembangkan diri, menunda perkawinan di atas usia 19 tahun, dengan menyiapkan terlebih dulu sehingga benar-benar siap berkeluarga," urainya. Erlina menambahkan peran pemerintah desa terlibat aktif menekan angka perkawinan anak melalui pembentukan peraturan desa (perdes) juga diperlukan. "Kami masuk ke kelurahan itu termasuk untuk advokasi terhadap aparat maupun tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga di desa untuk kemudian bisa dibuat, disusun, dan disahkan perdes terkait dengan pencegahan perkawinan anak," jelasnya. Erlina menyebut sebelumnya memang sudah ada Undang-undang terkait pencegahan perkawinan usia anak, namun apabila didukung perdes, akan lebih baik lagi supaya program preventif dapat dianggarkan melalui dana desa. "Sebetulnya ada undang-undang, ada perda (peraturan daerah), pergub (peraturan gubernur), dan perwal (peraturan walikota) sudah ada. Mungkin didukung perdes akan jauh lebih kuat. Supaya ada implikasi penganggaran untuk program melalui dana desa," jelasnya.

Dikatakan Elina, saat ini pihaknya bersama lintas sektor tengah melakukan pendampingan pada kelurahan di Gunungkidul yang akan mengeluarkan perdes terkait pencegahan perkawinan anak. Selanjutnya, diharapkan dapat diikuti oleh kelurahan lain di seluruh wilayah Yogyakarta. ''Gunungkidul yang sudah akan mengeluarkan perda dan dapat diikuti kelurahan lain," imbuhnya Erlina juga menambahkan salah satu upaya sosialisasi pendewasaan perkawinan juga dilakukan dengan menggandeng kelompok musisi muda, Aftershine yang mengkampanyekan pendewasaan perkawinan dalam lagu. "Anak muda itu kan tidak mau digurui. Jadi memyampaikan pesan melalui lagu yang dibawakan musisi yang tengah digandrungi remaja, memiliki banyak fans ini, akan lebih efektif," pungkasnya. (wur/yyw).

sumber : rri.co.id

Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?