Oleh: Dhefira Elshafa Dyah Wikantyasning
Program Kerja Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi orang lain dengan skill tertentu yang meliputi upaya memfasilitasi performansi pada pekerjaan kolektif (Winston & Patterson, 2006). Dalam pelaksanaannya, semua manusia mempunyai hak untuk menjalani kepemimpinan termasuk perempuan. Seperti yang telah tercantum dalam lima hak perempuan bahwa perempuan juga berhak untuk menjalani kehidupan publik dan politik. Salah satu implementasinya adalah ketika perempuan menjadi seorang pemimpin dan menjalani kepemimpinan.
Namun, masih terdapat glass ceiling yang merupakan peristiwa dimana terdapat kerugian yang dialami oleh suatu pihak (gender) dalam hubungan vertikal termasuk kerugian dalam hal promosi jabatan (Wright & Baxter, 2000). Lebih lanjut, Dowling (2017) menjelaskan bahwa glass ceiling merupakan fenomena ketidaksetaraan gender yang terjadi utamanya pada perempuan bahwa mereka hanya bisa mencapai posisi atau jabatan tertentu dan tidak untuk dipromosikan hingga jabatan eksekutif.
Fenomena glass ceiling sangat berkaitan dengan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dapat berupa subordinasi, marginalisasi, stereotip, beban ganda, dan kekerasan (Faqih, 1996 dalam Afandi, 2019). Dalam pemberian jabatan dan wewenang untuk memimpin atau menjadi pihak pemberi keputusan, perempuan sering mengalami subordinasi dimana yang menjadi prioritas utama adalah laki-laki sedangkan perempuan dinomorduakan dan dianggap lebih rendah (kemenpppa, 2022).
Jika melihat data jumlah pejabat di DIY, masih terdapat glass ceiling dimana keseimbangan jumlah berdasarkan gender hanya sampai di eselon IV. Untuk tingkatan di atasnya seperti eselon III, II, dan I masih didominasi oleh pejabat lak-laki (siga.jogjaprov.id, 2022). Muslim dan Perdhana (2017) melakukan studi literatur terhadap penyebab terjadinya glass ceiling di Indonesia. Hasilnya menunjukkan terdapat enam faktor terjadinya glass ceiling, yakni faktor manusia, organisasi, peran sosial, interaksi, modal manusia, dan preferensi. Dari faktor-faktor tersebut, mayoritas penyebab terjadinya glass ceiling adalah kurangnya kualifikasi perempuan untuk berada pada jabatan yang lebih tinggi (kualifikasi pendidikan, rendahnya motivasi maupun pengalaman) dan juga adanya stereotip serta konflik tanggung jawab (perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah dan mengasuh anak sehingga ditakutkan perempuan tidak bisa fokus sepenuhnya terhadap tanggung jawab pekerjaan).
Ketika perempuan menjadi seorang pemimpin, terdapat beberapa kelebihan yang mungkin tidak mudah ditemui pada pemimpin laki-laki. Menurut Eagly dan Carli (2003) perempuan lebih interpersonally oriented daripada laki-laki ketika menjadi seorang pemimpin. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Agustiana (2021) bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosional yang baik untuk membangun relasi dengan siapapun termasuk dengan orang yang dipimpin sehingga dapat meningkatkan kepercayaan atas apa yang dipimpinnya. Perempuan juga cenderung lebih memikirkan kesejahteraan dan menekankan pada aspek interaksi dengan bawahannya (Gibson, 2000 dalam Sasmita & Raihan, 2014). Selain itu, perempuan dianggap lebih sabar dan berempati dalam memimpin (Sasmita & Raihan, 2014).
Dalam berpolitik peran perempuan juga dibutuhkan. Peran tersebut dibutuhkan sebagai pembuat kebijakan yang berpihak adil pada perempuan dan menyuarakan isu-isu gender dari sudut pandang perempuan, terutama di wilayah yang masih rentan terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Dalam parlemen, jumlah perempuan diharapkan memenuhi keterwakilan, yakni sejumlah 30%. Bahasan ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, yakni penghapusan mengenai segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perlu langkah yang signifikan untuk memberdayakan perempuan dalam berpolitik.
Sebagai upaya untuk mempersiapkan perempuan Indonesia untuk terjun dalam dunia politik, diperlukan peran dari beberapa pihak seperti pihak individu, keluarga, lingkungan, hingga pemerintah. Dari analisis yang sudah dilakukan oleh Muslim dan Perdhana (2017), terdapat faktor pendidikan perempuan yang menjadi hambatan untuk terjun ke dunia politik sehingga diperlukan pelatihan dan pemberian sosialisasi dan edukasi terkait materi kepemimpinan dan politik kepada perempuan. Seiring meningkatnya kompetensi perempuan dalam berpolitik, kepercayaan masyarakat terhadap perempuan juga akan meningkat. Kemudian, dari faktor eksternal diperlukan dukungan dari lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan diri perempuan untuk berpolitik, seperti mendorong kebijakan afirmatif bagi politikus perempuan.
Referensi
Agustiana, D. (2021, Januari 29). Ini Kelebihan Perempuan Kalau Jadi Pemimpin, Nomor 3 Paling Penting. Grid.Id. https://www.grid.id/read/042532616/ini-kelebihan-perempuan-kalau-jadi-pemimpin-nomor-3-paling-penting?page=all
Afandi, A. (2019). Bentuk-Bentuk Perilaku Bias Gender. Journal of Gender and Children Studies. 1(1), 1 - 18.
Dowling, G. (2017), "The glass ceiling: fact or a misguided metaphor?", Annals in Social Responsibility, Vol. 3 No. 1, pp. 23-41. https://doi.org/10.1108/ASR-05-2017-0002
Eagly, A. H., & Carli, L. L. (2003). The female leadership advantage: An evaluation of the evidence. The leadership quarterly, 14(6), 807-834. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2003.09.004
Kemenpppa. (2022). Ketidakadilan Gender. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/23
Muslim, M. I., & Perdhana, M. S. (2017). Glass ceiling: sebuah studi literatur. Jurnal Bisnis Strategi, 26(1), 28-38. https://doi.org/10.14710/jbs.26.1.28-38
Sistem Informasi Gender dan Anak. (2022). Jumlah Pejabat Menurut Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin. Siga.jogjaprov.go.id. https://siga.jogjaprov.go.id/data_dasar/index/104-jumlah-pejabat-menurut-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-
Winston, B. E., & Patterson, K. (2006). An integrative definition of leadership. International journal of leadership studies, 1(2), 6-66.
Wright, E. O., & Baxter, J. (2000). The Glass Ceiling Hypothesis: A Reply to Critics. Gender & Society, 14(6), 814–821. https://doi.org/10.1177/089124300014006008