Yogyakarta, DP3AP2 DIY (20/11/2022) – Perempuan dan anak masuk dalam kelompok rentan dan berpotensi menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti tak pernah lekang oleh waktu, karena setiap tahunnya selalu ada kasus yang ditangani oleh pihak yang berwenang ataupun lembaga perlindungan. Pada tahun 2021, terdapat 1.235 kasus dan pada Tahun 2022 semester 1 (Januari-Juni) terdapat 602 kasus ditangani oleh Lembaga yang tergabung dalam Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY dan Kabupaten/Kota DIY, data tersebut berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan online DIY (siga.jogjaprov.go.id).
Adanya kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi karena ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang tidak setara. Kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian menempatkan perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan. Dari beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus kekerasan seksual sering menjadi sorotan terutama pada masa Pandemi Covid-19 ini. Jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat pada tahun 2021 sejumlah 309 kasus dinilai menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di DIY cukup tinggi (siga.jogjaprov.go.id).
Ada beberapa faktor penyebab yang mendorong tingginya angka kekerasan seksual. Pandemi Covid-19 turut berperan terhadap tingginya angka kekerasan seksual. Banyak kegiatan yang memaksimalkan penggunaan teknologi seperti sekolah, kuliah dan bekerja. Salah satu dampak buruknya adalah anak-anak atau remaja tanpa pengawasan orang tua mengakses situs pornografi atau mengakses sosial media secara berlebihan dan berujung menjadi korban kekerasan seksual secara online.
Salah satu kasus kekerasan yang menuai sorotan adalah kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi Pendidikan seperti di lingkungan kampus. Siapa saja berpotensi menjadi korban dan begitu juga pelaku dapat berasal dari lingkungan terdekat korban. Korban kekerasan seksual terkadang memberikan respon diam saat pelecehan seksual terjadi, kemudian disalah artikan bahwa korban juga menerima bahkan menikmati terjadinya kekerasan seksual tersebut. Kondisi respon diam atau “freeze respone” yang dialami oleh korban merupakan pengaruh dari sisi psikologis korban saat berlangsungnya kekerasan, hal tersebut menunjukkan bahwa korban dalam keadaan tidak berdaya dan tidak bisa melawan.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilingkungan Kampus dan mendorong lingkungan kampus untuk memberikan perlindungan bagi lingkungannya, salah satunya melalui Satgas Penanganan Kekerasan Seksual. Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kemudian dikuatkan dengan disahkannya Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Tahun 2022. Melalui Undang-undang tersebut Pemerintah mendorong untuk meningkatkan pelayanan terhadap pencegahan dan penangangan korban kekerasan seksual di masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) Tahun 2022, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY mendorong kampus untuk menjadi lingkungan yang ramah bagi perempuan dan anak. Rangkaian peringatan HAKTPA tersebut digelar dalam acara Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus yang dilaksanakan di empat universitas berbeda di DIY. Keempat Universitas tersebut adalah Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama dari Dinas P3AP2 DIY dengan BEM masing-masing universitas tersebut. Adapun kegiatannya dilaksanakan pada 12 November 2022 di Ruang Seminar Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Ruang Imam Bernadib Lantai 7 Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Selain itu juga dilaksanakan pada tanggal 17 November 2022 untuk Universitas Gadjah Mada dan 19 November 2022 untuk Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, keduanya dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting.
Kita ketahui bahwa kekerasan seksual tentunya meninggalkan dampak tersendiri bagi korbannya. Korban kekerasan seksual tidak jarang mengalami trauma, depresi dan permasalahan psikologis lainnya. Melalui kegiatan sosialisasi ini diharapkan sebagai upaya bersama pencegahan serta penanganan kekerasan seksual dengan menyatukan frekuensi mengenai kekerasan seksual dan kedepannya dapat bersama-sama mengadvokasikan agar korban kekerasan seksual dapat mendapatkan perlindungan.