Yogyakarta, DP3AP2 DIY (15/12/2021) - STUNTING merupakan salah satu isu prioritas nasional. Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting secara signifikan agar tercipta generasi yang tumbuh dengan sehat.
Stunting adalah kekurangan gizi pada bayi di 1.000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Karena mengalami kekurangan gizi menahun, bayi stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Namun yang harus diingat, stunting itu pasti bertubuh pendek. Sementara yang bertubuh pendek belum tentu stunting (BKKBN : https://www.bkkbn.go.id/detailpost/indonesia-cegah-stunting).
Menurut Buku Data Gender dan Anak DIY Tahun 2021 oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, angka stunting DIY sesungguhnya sudah menurun dari tahun ke tahun, namun meningkat lagi di tahun 2020. Sebesar 12,37 persen pada tahun 2018, menunun di tahun 2019 menjadi 10,69 persen. Namun sayangnya naik sebesar 0,4 persen di tahun 2020, menjadi sebesar 11,09 persen. Stunting berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, paparan suatu penyakit dan asupan gizi yang kurang secara kuantitas dan kualitas (WHO, 2014).
Stunting juga berkaitan dengan meningkatnya resiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental (Waterlow, 1994). Anak-anak stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (UNICEF, 2004). Hal-hal inilah yang perlu kita waspadai bersama, sehingga kita juga perlu bergerak bersama untuk pencegahan stunting.
Pembahasan mengenai stunting sendiri lebih sering dikaitkan dengan ibu hamil, ibu menyusui dan masa 1000 HPK (hari pertama kehidupan) dimulai dan kandungan sampai kurang lebih usia dua tahun, tentang bagaimana asupan gizi dimasa-masa tersebut. Selain itu, isu stunting juga lebih banyak menyasar kepada pasangan suami istri ataupun orang-orang yang lebih dewasa.
Namun saat ini, remaja juga perlu mengambil peran dalam pencegahan. Kenapa remaja sudah harus terlibat? Kekurangan gizi yang terjadi pada balita/anak stunting tidak hanya karena kekurangan gizi pada ibu saat masa kehamilan, tetapi siklus tersebut juga sudah dimulai dari masa remaja. Remaja perlu belajar dan menerapkan bagaimana pola hidup sehat termasuk konsumsi makanan sehat.
Kebiasaan-kebiasan remaja masa kini seperti diet ketat, melewatkan waktu makan tertentu, malas untuk olahraga/malas gerak, merokok, mengkonsumsi makanan cepat saji dan rendah nutrisi, tentu saja akan berpengaruh terhadap kesehatan. Bahkan, dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, masih banyak remaja yang dalam kondisi kurus dan sangat kurus. Selain itu, remaja putri juga banyak yang mengalami anemia defisiensi zat besi yang tentu saja akan memberikan dampak yang tidak baik bagi kondisi tubuhnya. Anemia yang tidak teratasi dan terbawa hingga masa kehamilan bisa mengganggu kesehatan janin, termasuk meningkatkan risiko stunting. Pemahaman itulah yang harus ditanamkan bagi remaja, baik remaja putri maupun remaja putra harus bisa mengatur pola makan dan asupan gizi yang dikonsumsi dan juga menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang dapat merugikan diri sendiri. Selain itu, perlu juga dibarengi dengan pemahaman mengenai perencanaan berkeluarga termasuk usia menikah yang ideal. (")