Yogyakarta, DP3AP2 DIY (15/01/2021) - Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana ada perubahan atas UU perkawinan yaitu UU No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974. Di Indonesia, dimana pada UU No 16 tahun 2019 pasal 7 , dinyatakan bahwa perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria dan wanita mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, sedangkan di UU sebelumnya usia perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Namun, pada kenyataannya, di Indonesia masih banyak terjadi perkawinan anak yang masih berusia dibawah 19 tahun. Berdasarkan Data BPS tahun 2018, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat nomor 2 dari bawah setelah Riau, namun posisi ini bisa bergeser lebih baik atau lebih jelek ketika batas minimal umur perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Hal ini harus dilakukan upaya terpadu untuk mencegah perkawinan anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak-hak anak dilindungi oleh berbagai peraturan, diantaranya non diskriminasi, hak hidup tumbuh dan berkembang, partisipasi/suara anak. Banyaknya perkawinan anak di Indonesia, khususnya DIY, dimana ada peningkatan jumlah perkawinan anak sejak tahun 2018 sebanyak 331 kasus dan meningkat menjadi 696 kasus perkawinan anak pada tahun 2020. Perkawinan anak ini perlu dicegah. Hal ini dikarenakan anak adalah investasi bangsa. Penyebab perkawinan anak diantaranya faktor ekonomi dan kemiskinan, faktor nilai budaya, faktor perilaku remaja (kehamilan yang tidak dikehendaki / KTD), ketidaksetaraan gender. Menurut ibu Erlina, KTD hampir ada di semua kabupaten dan kota yang menjadi penyebab utam perkawinan anak, dan angkanya hampir mencapai 80% dari total pernikahan usia anak-anak di DIY. Disamping itu, kadang kala anak tidak memiliki kekuasaan untuk mengatakan tidak ketika orang tuanya meminta untuk segera menikah, itu juga menjadi penyebab perkawinan anak
Dampak secara global dari perkawinan anak diantaranya adanya komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak, bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu beruisa 20-29 tahun, anak perempuan yang menikah lebih rentan terhadap kekerasan rumah tangga. Akibat yang timbul dari perkawinan anak dari sisi pendidikan, menyebabkan anak menjadi putus sekolah. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat (44,9%). Dari sisi kesehatan, akan meningkatkan kejadian angka kematian ibu (AKI), 4-5 kali peluang terjadinya kehamilan risiko tinggi, kontraksi rahim tidak optimal, kanker serviks, kejadian 2-5 kali berpeluang pre eklampsia, risiko lahir premature, peluang tertular penyakit menular seksual (PMS), meningkatnya angka kematian bayi (AKB), stunting, dan risiko berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Dari sisi ekonomi, semakin banyaknya pekerja anak dengan upah rendah, sehingga menyebabkan kemiskinan. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hampir 2x lebih banyak bekerja di pertanian dibanding yang menikah diatas usia 18 tahun. Dari sisi sosial, akan meningkatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola asuh salah ke anak, kesehatan mental dan identitas anak.
Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta (2020), dispensasi pernikahan di DIY masih menunjukkan peningkatan dari 2018 sampai dengan 2020. Sebagian besar penyebab perkawinan anak di DIY masih didominasi dengan factor perilaku remaja yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terpadu untuk mencegah perkawian anak ini. Salah satunya adalah dengan pendewasaan usia perkawinan (PUP).
Pendewasaan usia perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama yaitu usia minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, dimana pada batasan usia ini dianggap sudah siap menghadapu kehidupan keluarga dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. PUP ini juga merupakan bagian dari Program KB Nasional yang diharapan dapat mendukung penurunan Total Fertility Rate (TFR). Tujuan Pendewasan Usia Perkawinan (PUP) diantaranya menunda perkawinan sampai batas usia minimal untuk siap berkeluarga, mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa, menunda kehamilan anak pertama bila telah terjadi perkawinan dini, sampai di usia 21 tahun. Menurut ibu Erlina, pencegahan perkawinan anak ini memerlukan upaya terpadu dari berbagai pihak yang berperan, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga ke desa.
Berdasarkan Permendesa PDTT No 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2021, disebutkan bahwa salah satu prioritas penggunaan dana desa untuk program prioritas nasional sesuai kewenangan desa adalah pencegahan stunting di desa melalui pengasuhan anak di keluarga termasuk pencegahan perkawinan anak. Disamping itu, adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan peluang wewenang penuh bagi pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga bisa bertanggung jawab atas tata kelola pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Penyusunan perdes pencegahan dan penanganan perkawinan anak sebagai komitmen dalam menurunkan perkawinan anak. Perdes ini ini bisa berdiri sendiri atau diintegrasikan dengan Perdes Layak Anak, berisi strategi pencegahan, pengaduan dan penanganan perkawinan anak, kewajinban dan tanggung jawab pemerintah desa, masyarakat, orang tua serta hak dan peran anak dalam pencegahan perkawinan anak, serta adanya monitoring, evaluasi dan alternative sangsi denda. Sudah ada contoh Perdes pencegahan perkawinan anak yaitu di Desa Bialo dan Desa Padende Kabupaten SIgi.
Upaya yang dilakukan DP3AP2 dalam pendewasaan usia perkawinan/pencegahan usia perkawinan, dilakukan melalui tahap anak, keluarga, satuan pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga hukum, lembaga kesehatan, masyarakat dan wilayah. Strategi pencegahan perkawinan anak tahun 2021 diantaranya menyusun mekanisme koordinasi lembaga layanan atas pengaduan, pendampingan dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak di desa, penyusunan pedoman peraturan daerah, perdes pencegahan perkawinan anak. Hasil yang diharapkan diantaranya turunnya angka perkawinan anak, meningkatnya kualitas pengasuhan anak, meningkatnya status kesehatan dan gizi anak, turunnya angka kematian ibu melahirkan, meningkatnya angka partisipasi sekolah, turunnya drop out sekolah, turunnya jumlah pekerja anak, turunnya kekerasan terhadap anak, KDRT, meningkatnya nilai IPM dan SDG’s desa.
Penting disadari bahwa usia kawin yang ideal adalah minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, meskipun dalam UU Perkawinan batas umur kawin direvisi menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.
Menurut Erlina Hidayanti, Kepala DP3AP2 DIY, jika sudah ada pernikahan dini/perkawinan anak dan sudah disetujui dengan dispensasi kawin oleh Pengadilan Agama, maka harus ada pendampingan supaya tidak ada perceraian, KDRT. Karena perkawinan anak ini menjadi salah satu hambatan pembangunan nasional dan dapat mengganggu pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan SDG’s Indonesia. Disamping itu, perlu digerakkan pula Forum Anak di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai desa, serta perlu peran serta aktif dari seluruh pihak. Memfasilitasi pendanaan serta dilakukan monitoring dan evaluasi kegiatan yang dilakukan disisi mana yang harus dievaluasi jika masih ada peningkatan kasus perkawinan anak.
Menurut mron Rasyid dari Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, kerangka hukum UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinansebagaimana telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019, bahwa usia sah untuk menikah adalah 21 tahun, kemudian usia 19 tahun dapat menikah dengan izin orang tua, sedangkan usia dibawah 19 tahun orang tua mengajukan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan. Dengan dispensasi kawin, tidak ada batas usia minimal pernikahan. Akan tetapi, disini pengadilan tinggi agama seolah olah mempermudah dispensasi perkawinan anak. Hal ini dengan meningkatnya jumlah perkawinan anak dengan dispensasi perkawinan. Perkara dispensasi kawin di DIY meningkat tajam dari tahun 2019 sebanyak 463 perkara menjadi 948 perkara di tahun 2021. Sebagian besar dispensasi kawin yang diberikan oleh pengadilan, diajukan oleh orang tua karena adanya kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) atau alasan yang sangat mendesak harus terjadi perkawinan. Proses dispensasi kawin ini juga sudah melalui prosedur-prosedur hukum yang berlaku yang didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Menurutnya, pengadilan agamapun akan sulit untuk menolak permohonan dispensasi pernikahan anak di usia dini jika yang menjadi alasan adalah kehamilan di luar nikah. Hakim harus mempertimbangkan bagaimana nasib anak dalam kandungan dan anak (calon pengantin permepuan), jika kemudian lahir tanpa perkawinan, sehingga memperoleh stigma di masyarakat. Selain itu, manusiawi ketika hakim berharap, bahwa dengan dispensasi kawin yang diberikan, anak yang ada dalam kandungan itu setidaknya memiliki harapan hidup dalam jaminan ekonomi lebih baik. Faktor kedua, persoalan budaya dan hubungan sosial masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang sangat sensitive dalam kaitan kawin anak ini. Bukan tidak mungkin, jika tidak keluar dispensasi kawin yang memungkinkan dua anak menikah, persoalan pidana justru muncul. Akibatnya, meski sudah ada regulasi, sangat sedikit permohonan dispensasi pernikahan anak yang ditolak oleh pengadilan agama. Selama KTD ini tidak bisa kita cegah, pernikahan dini akan terus terjadi. Sesuai dengan tupoksi Pengadilan Tinggi Agama, akan menegakkan hukum perkawinan anak sesuai PERMA No 5 tahun 2019.
KPH Notonegoro pada kesempatan ini menyampaikan peraturan pencegahan perkawinan anak mulai dari penyaringan sampai dengan dispensasi kawin, sudah melalui proses yang ketat. Sedangkan permasalahan utama yang terjadi adalah adanya KTD dan hubungan seks di luar nikah. Alangkah baiknya dilakukan pendekatan secara sosio kultural dibandingkan pendekatan secara legal. Menurutnya, regulasi seperti apapun saja tidak cukup dan sangat sulit mencegah pernikahan anak usia dini. Sebab yang berkembang di tengah masyarakat sekarang, pernikahan seolah menjadi satu-satunya solusi dan dianggap penyelamat kehormatan keluarga. Karena bagi sebagian orang, terutama orang tua, melihat bahwa pernikahan ini akan menyelamatkan muka mereka. Yang kita cegah adalah penyebab utamanya yaitu KTD. Dibuat peraturan seperti apapun kalau sudah terjadi KTD itu akan sulit mencegah terjadinya perkawinan. Sejauh mana Pengadilan Agama itu bisa menolak, pada kenyataannya yang ditolak sangat sedikit, karena sudah terjadi KTD sehingga Pengadilan Agama pun kesulitan.
Menurutnya, bagaimana caranya membentengi nilai-nilai moral kaum muda sekarang dengan nilai-nilai warisan budaya leluhur, bagaimana memberikan edukasi kepada remaja untuk tidak tergesa gesa berpacaran di usia muda, bagaimana membuat program kegiatan yang positif untuk kaum muda. Adanya keterlibatan remaja / anak muda dalam berbagai kegiatan, diajak diskusi atau rembugan, kegiatan olahraga, music, permainan tradisional, berkebun, kerajinan, aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan sesuai dengan bakat dan minat mereka. Dalam permasalahan ini, LPM menurutnya dapat memainkan peran yang strategis mengingat didalamnya terdapat biro pemberdayaan keluarga. Fungsi biro ini perlu dioptimalkan melalui program-program pemahaman kepada anak-anak muda di usia dini supaya tidak sampai terlibat dalam pergaulan yang berakhir kepada KTD. Remaja harus ada kegiatan-kegiatan yang menarik untuk mengalihkan perhatiannya supaya tidak terjerumus atau berpacaran di usia muda. Harus ada kegiatan-kegiatan pengalihan yang positif dan berdampak. Misalnya ada desa digital, kegiatan mural atau desain grafis, adanya desa wisata yang dikelola oleh remaja, dsb.