Yogyakarta, DP3AP2 DIY (15/03/2022) – Hingga saat ini keterlibatan perempuan dalam sektor publik masih belum optimal. Pada 2021, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPRD DIY sebanyak 20 persen yang masih selisih dengan target minimal sesuai afirmasi kuota sebesar 30 persen. Ini sejalan dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) pada 2020 menunjukkan angka 74,73.
IDG menunjukkan apakah perempuan dapat secara aktif berperan serta dalam ekonomi dan politik. Meski nilai IDG termasuk di rata-rata nasional, tetapi pada kenyataannya masih banyak perempuan yang belum berpartisipasi dalam bidang ekonomi dan politik di DIY. Rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor publik dipengaruhi beberapa aspek, seperti budaya, sosial, dan agama. Di berbagai daerah (baik di kota maupun di desa), aspek-aspek tersebut mempengaruhi partisipasi perempuan dalam taraf dan bentuk yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan program dan kegiatan untuk mendorong kesadaran perempuan agar aktif dalam berbagai proses politik dan pengambilan keputusan pada berbagai level termasuk di Desa/Kalurahan/Kelurahan.
Berangkat dari hal tersebut, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DP3AP2 DIY) mengadakan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perempuan dalam Bidang Perempuan di dua lokasi berbeda, yaitu di Kalurahan Pandowoharjo, Sleman, dan di Kalurahan Wedomartani, Ngemplak, 21 dan 22 Februari 2022. Kegiatan ini juga bekerja sama dengan Institute Research and Empowerment (IRE) dan Rifka Annisa sebagai fasilitator.
Peserta kegiatan tersebut anggota Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) dan Desa Perempuan Indonesia Maju Mandiri (Desa Prima) yang seluruh anggotanya perempuan. Kegiatan ini bertujuan mengubah perspektif peserta tentang politik dan menyadarkan pentingnya politik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kegiatan tersebut, peserta diajak mengenali situasi sosial politik di lingkungan mereka, mulai dari permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari, hingga permasalahan desa. Tidak sedikit peserta yang menceritakan pengalaman pribadi mereka dalam menghadapi permasalahan tersebut. Salah satu permasalahan yang hampir dirasakan semua peserta adalah kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga maupun desa.
Pada tingkat keluarga, peserta mengeluh mereka beberapa kali tidak mendapatkan izin suami untuk mengikuti kegiatan di desa. Pada tingkat desa, beberapa peserta merasa akses untuk ikut dalam musyawarah sedikit sulit karena dilaksanakan pada malam hari saat peserta memiliki tugas di rumah yang tidak bisa ditinggalkan. Beberapa peserta juga menjelaskan bahwa mereka tidak diundang dalam musyawarah desa.
Hal ini menyebabkan perempuan tidak bisa menyampaikan usulan mereka dalam kaitannya dengan pembangunan desa. Keterlibatan perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga masih rendah, di mana dari beberapa anggota BPD hanya ada satu atau dua saja anggota perempuannya. Adanya perempuan dalam BPD masih sekedar menunaikan peraturan keterwakilan perempuan dalam BPD saja.
Pada sisi lain diketahui bahwa peserta kegiatan juga merasa kurang percaya diri dalam mengikuti kegiatan politik di desa. Mereka merasa belum memiliki ilmu yang cukup sehingga tidak berani memberikan pendapat di ruang publik. Padahal dari kegiatan pelatihan ini, diketahui bahwa daya tangkap peserta pada isu-isu sosial di masyarakat sangatlah baik. (*)