Yogyakarta, DP3AP2 DIY (19/04/2022) – Belakangan ini marak menjadi perbincangan terkait kejadian kejahatan jalanan yang pelaku dan korbannya masih usia anak. Miris. Meski sebenarnya sudah cukup banyak regulasi yang mengatur tentang perlindungan hak-hak anak, mulai dai UU, Perda, hingga Pergub yang dimiliki daerah, termasuk di DIY.
Dalam kasus yang melibatkan anak ini, baik pelaku maupun korban harus dilindungi hak-haknya berdasar regulasi yang berlaku. Pada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 2 bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada Perda DIY Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak juga sangat jelas diatur. Beberapa poin penting, diantaranya anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi seperti dijelaskan dalam undang-undang.
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Prinsip dasar konvensi hak-hak anak, seperti nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam Pergub DIY Nomor 17 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Asasi Anak secara Umum pada Pasal 2 Ayat 2 juga disebutkan hak anak secara umum, meliputi agama atau kepercayaan kesehatan, pendidikan, sosial, dan pengasuhan alternatif. Di pasal selanjutnya dikatakan bagi lembaga yang melanggar akan terkena sanki teguran hingga pencabutan izin.
Menyikapi maraknya kejadian yang melibatkan anak dan remaja, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi, menjelaskan bahwa harus diperhatikan mulai awal sampai akhir. Artinya, perkembangan remaja mulai dari anak-anak, bagaimana remaja sewaktu masih anak diberikan pengasuhan secara baik oleh orang tua atau pengasuh. Sebab hal itu akan berdampak pada tumbuh kembang mereka secara fisik maupun psikis.
“Psikis terkait dengan pola pengasuhan yang diberikan. Jika baik maka efeknya juga baik. Tapi kalau buruk akan berdampak buruk pula. Dampaknya pada perilaku, karakter, nilai saat dia memperlakukan orang lain,” kata Erlina.
Hal itu menurutnya tidak hanya dilakukan keluarga, tapi juga lingkungan masyarakat. Pengaruh masyarakat sangat besar terhadap anak. Lingkungan yang tidak baik akan mempengaruhi. Sebab anak tidak hanya hidup dalam keluarga, tapi juga di masyarakat. Meski di rumah baik, jika lingkungannya kurang mendukung juga akan menimbulkan dampak negatif. Pasalnya masa remaja merupakan momen pencarian jati diri, agresivitas tinggi, ingin menunjukkan eksistensi diri, ingin diakui, dihargai, dan lainnya sehingga harus diperhatikan. “Masyarakat tidak boleh cuek dengan perkembangan anak dan remaja,” tegasnya.
Selain itu, sekolah juga merupakan sektor penting. Sebab anak tidak hanya hidup di keluarga dan masyarakat. Abagimana sekolah bisa mendidik dan mengasuh di masa ketika anak remaja di sekolah. Sehingga perlu kerja sama semua pihak.
“Peran pemerintah yang mengeluarkan regulasi mengatur tentang hubungan keluarga, masyarakat dan sekolah bisa menjadi salah satu solusi untuk melakukan hal terbaik. Hal itu bentuk pencegahan agar tidak terjadi pengaruh negatif,” sambungnya.
Namun demikian, Erlina melihat saat ini sudah sampai pada tahap kelemahan sehingga mengakibatkan remaja dan anak melakukan hal negatif, seperti kenakalan remaja dan kejahatan. Di usia anak ini harus ada penanganan tepat terkait keterlindungan anak. Kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan harus bijak demi kepentingan terbaik bagi anak. “Semua pihak harus paham regulasi dan apa yang diinginkan regulasi,” tegasnya.
Sebab itulah Erlina mengimbau orang tua sebagai tahapan pertama kali dalam pengasuhan harus memperhatikan supaya hak anak terpenuhi. Anak-anak dalam kondisi khusus harus dapat perlindungan khusus pula. Sebab menjadi orang tua tidak mudah. Harus selalu mencari ilmu, kompetensi sehingga dapat menjalankan peran dengan baik.
Peran Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk mencegah ekses negatif sangat penting. Sekolah yang sudah mendeklarasikan diri sebagai SRA sudah menerapkan sistem pendidikan ramah anak, perhatikan ramah anak, mengadopsi indikator memenuhi ramah anak sehingga tumbuh kembang mereka dapat difasilitasi untuk menjadi pribadi yang baik.
“Mereka sudah melengkapi diri dengan edukasi tentang perlindungan anak. Fasilitas yang cukup untuk pemenuhan hak anak. Apapun masalah anak bisa dilayani, sehingga tumbuh dan perkembangan anak sampai usia 18 tahun bisa menjadi positif,” urainya.
Dijelaskan pula bahwa istirahat yang cukup dapat mendukung tumbuh kembang fisik dan nonfisik anak. Jam istirahat anak harus diawasi dengan benar. Jam 10 malam anak harus isturahat. Jangan sampai di atas jam 10 malam, anak masih keluyuran jika tidak benar-benar mendesak. Itupun harus sepengetahuan dan di bawah pendampingan.
Menyediakan ruang kreativitas yang positif bisa menjadi solusi. Sehingga dengan kreativias dapat menyalurkan bakat minat dengan baik. Akan membuah hidup mereka lebih baik di masa depan.
Untuk mencegah kejahatan jalanan juga butuh skema khusus. Sehingga mereka bisa sembuh dan tidak melakukan hal itu lagi. Memisahkan mereka dari kelompoknya dengan sekolah khusus terpadu agar bisa dikonseling. Pelaku juga mendapat proses hukum meski usia anak, namun sesuai mekanisme peraturan yang berlaku agar bisa jera. Hal tersebut demi kepentingan terbaik bagi anak. “Ramah anak, tidak membuat trauma. Tidak dihakimi berlebihan,” jelasnya.
Sementara terpisah, Anggota Komisi D DPRD DIY, Syukron Arif Muttaqien, menegaskan bahwa dewan sudah mengambil sejumlah kebijakan strategis terkait kejahatan jalanan yang marak di Yogyakarta dan kenalakan remaja. Harus dicari akar masalahnya sehingga tidak bisa semua pihak berjalan sendiri.
“Harus ada koordinasi antar lembaga. Harus jalankan kebijakan bersama untuk menanggulangi,” kata Sekretaris Fraksi PKB DPRD DIY tersebut.
Menurutnya, akar permasalahan yang utama ada pada anak. Tidak ada pengawasan yang melekat dari orang tua. Untuk itu harus memberikan pemahaman kepada orang tua sebagai pihak yang melakukan pengawasan melekat.
Selain itu, masayarakat di sekitar harus ikut melindungi dan mengawasi aktivitas remaja. Misalnya saja jika ada anak keluar malam, maksimalkan fungsi jaga warga dan siskamling. “Jika ada anak yang keluar malam tidak jelas, masyarakat harus melakukan perlindungan preventif,” sambungnya.
Bagi aparat penegak hukum juga perlu melakukan tindakan preventif untuk mencegah gesekan. Misalnya saja, ketika ada kebut-kebutan atau tongkrongan remaja segera diberikan teguran. Sebab hal tersebut berpotensi menjadi hal yang tidak baik.
Masih ada lagi, sekolah pada level pendidikan semestinya tidak hanya mengejar pada kualitas anak didik saja, tetapi sekolah juga dapat menambahkan materi tentang pembentukan karakter, tata krama, akhlaq, kemanusiaan, wawasan kebangsaan, pendidikan moral, dan lainnya. Sehingga lembaga pendidikan menajdi ramah anak untuk mengawal proses pembentukan jati diri. Tidak hanya pintar, cerdas, tapi juga memiliki rasa kemanusiaan sebagai bagian dari sebuah elemen kehidupan.
Terkait SRA, Ketua Tim SRA SMKN 1 Pleret Bantul, Pargiyatno, S.Pd.Jas.,M.Pd. menyebutkan jika konsep Sekolah Ramah Anak adalah program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya selama anak berada di satuan pendidikan serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan pengawasan.
Sekolah Ramah Anak bukanlah membangun sekolah baru, namun mengkondisikan sebuah sekolah menjadi nyaman bagi anak serta memastikan sekolah memenuhi hak anak dan melindunginya. Karena sekolah menjadi rumah kedua bagi anak, setelah rumahnya sendiri.
Pembentukan dan pengembangan SRA didasarkan pada prinsip-prinsip, nondeskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak, hidup, perkembangan hidup dan kelangsungan, penghormatan terhadap pandangan anak dan pengelolaan yang baik.
“Motivasi kami menjadi SRA demi terwujudnya sekolah yang aman dan menyenangkan bagi peserta didik karena bebas dari kekerasan antar peserta didik maupun kekerasan yang dilakukan pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, terbentuknya perilaku pendidik dan tenaga kependidikan yang berprespektif anak, penerapan disiplin positif yang membantu anak untuk berpikir dan bertindak benar untuk anak yang dianggap melalaikan kewajibannya, bukan sanki atau hukuman yang selama ini dilakukan hingga meningkatkan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan dalam pengambilan keputusan di sekolah,” sambung Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan tersebut.
Terkait adanya kekerasan yang dilakukan anak di jalanan belakangan ini, SMKN 1 Pleret Bantul juga sudah melakukan langkah nyata. Mereka dengan salah satu sekolah tetangga yang beberapa kali terlibat gesekan mengambil sikap dan tindakan untuk meredam gejolak yang ada. Langkahnya dengan mediasi dan komunikasi yang intensif dengan pihak sekolah tersebut yang melibatkan dari kedua sekolah serta berbagai pihak terkait.
“Dari mediasi tersebut menemukan beberapa kesepakatan, seperti pertukaran pembina upacara/apel bersama yang menghadirkan manajemen dari kedua sekolah. Adanya koordinasi yang intens tingkat manajemen sekolah dari kedua sekolah dengan selalu berkoordinasi dan berdampingan dengan DP3AP2 Provinsi DIY dan UOTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Bantul. Mengemas kegiatan siswa secara bersama yang melibatkan siswa dari dua sekolah hingga pertukaran pelajar khususnya bagi siswa dengan program keahlian,” sebutnya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Yogyakarta, Syvi Dewajani, mengatakan bahwa kejahatan jalanan yang melibatkan anak memiliki akar masalah yang berasal dariberbagai ranah. Untuk itu perlu bekerja bersama secara komprehensif untuk membasmi kasus kejahatan jalanan ini. Pertama, orang tua harus membangun komunikasi dan relasi dengan anak secara optimal, sebagai sebuah kata kunci yang paling penting. Jika relasi dengan orang tua terjalin dengan baik, maka remaja akan merasa hangat dan anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.
Kedua, masyarakat harus mendesai kegiatan yang ‘fun’ bersama di kampung yang mengaktifkan remaja (bukan hanya anak-anak). Hal itu akan membuat pemanfaatan waktu luang remaja lebih terarah. Kegita, Pemda mulai memikirkan tata ruang dan tata fasilitas umum yang dapat mendukung pengisian waktu luang anak serta kegiatan berbudaya, seni, dan olahraga. Sektor pendidikan, memikirkan muatan lokal budaya Yogyakarta. Tidak hanya dalam wujud berbahasa Jawa, namun aktivitas intrakurikulum dan pembelajaran tentang budaya jawa yang adiluhung, sehingga menguatkan sisi humanisme anak dan remaja.
Untuk penanganannya, masyarakat perlu juga memahami prinsip penanganan kasus pidana anak. Tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak dari aspek psikologis dengan memberikan pengayoman, bimbingan dan pendidikan. Sehingga jika hukuman telah dijatuhkan untuk kasus pelanggaran berat, maka anak tetap harus mendapatkan proses rehabilitasi sosial.
Prinsip penanganan pelaksanaan perindungan anak pada pelaku bukan bermakna membebaskan dari hukuman pidananya, namun proses hukuman pidana dilakukan agar jera di kemudian hari. Sembari menguatkan sisi karakter dan kepribadian anak. Juga perlu dipikirkan proses reintegrasi di keluarga dan masyarakat, agar tidak terjadi ‘hukum rimba’ yang menghakimi tanpa memahami prinsip tumbuh kembang anak.
Pemberantasan kejahatan jalanan juga menjadi salah satu atensi Polda DIY, apalagi selama ini sering melibatkan anak di bawah umur. Tindakan tegas pun sudah berulang kali dilakukan polisi, dengan memproses hukum para pelaku, meski usia mereka masih kategori anak-anak.
Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol. Yulianto, SIK., menjelaskan bahwa selama ini tindakan tegas sudah diambil Kepolisian. Sebagai contoh, ujarnya, jajaran Polsek, Polres, Polresta, hingga Polda tetap memproses hukum anak-anak pembawa sajam. Dari beberapa kasus yang terjadi, ungkapnya, para anak tersebut biasanya kedapatan membawa sajam saat keluyuran malam hingga dii hari dengan teman-teman seusia. Jenis sajam yang dibawa pun beragam, mulai dari parang, clurit, hingga gir yang dilengkapi dengan tali pelontar.
Saat dimintai keterangan, para pelaku mengaku membawa sajam untuk berjaga-jaga. Namun, lanjutnya, ada juga yang telah dipakai untuk aksi kejahatan, misalkan melakukanpenganiayaan di jalanan. Terhadap kasus semacam itu, polisi tidak akan melakukan tindakan diversi, atau penyelesaian perkara di luar jalur hukum.
“Remaja di bawah umur membawa sajam, tidak sesuai peruntukannya dapat diproses hukum. Pembawa sajam dapat diproses hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951. Dalam kasus itu, tidak kami lakukan diversi karena ancaman maksimal 10 tahun,” tegasnya.
Meskipun proses hukum telah dijalankan, namun Kabid membenarkan jika masih saja terjadi kasus serupa. Untuk itu, ia mengajak semua pihak agar terlibat aktif dalam penyelesaian kasus kriminalitas yang melibatkan anak, terutama para orang tua. Para orang tua harus mengecek dan mencari keberadaan anaknya jika belum di rumah, terlebih saat malam hari. Mengingat dari beberapa kasus yang terjadi, para pelaku kejahatan biasanya ditemukan keluyuran dengan teman satu kelompoknya saat malam hingga dini hari.
“Kami berharap kejadian di Jalan Gedongkuning beberapa waktu lalu menjadi yang terakhir dan jangan lagi ada korban. Oleh karena itu, mari kita jaga anak-anak kita, cek keberadaan mereka. Jangan izinkan mereka pergi terutama malam hingga dini hari tanpa tujuan yang jelas. Pelajar itu tugasnya belajar, bukan keluyuran tidak jelas yang ujung-ujungnya melakukan kriminalitas,” pungkasnya.
Sumber : Kedaulatan Rakyat