Yogyakarta, BPPM- Provinsi DIY hingga kini tetap memegang komitmen untuk terus berusaha memenuhi hak-hak anak salah satunya dengan pemenuhan hak identitas anak melalui pemberian akta kelahiran. Komitment ini diperkuat dengan usaha Pemerintah provinsi DIY untuk mendorong Kabupaten/Kota di DIY untuk menjadi kabupaten/kota layak anak yang salah satu indikatornya adalah bahwa 100% anak telah memiliki akta kelahiran. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Provinsi DIY ketika menjadi salah satu narasumber dalam pembukaan Workshop Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Yogyakarta (27/7).
Workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tersebut menfokuskan pada topik pemenuhan hak-hak anak khususnya pemenuhan akta kelahiran. Akta kelahiran merupakan hak dasar setiap anak yaitu hak atas pengakuan sah suatu negara terhadap keberadaannya. Aktakelahiran tidak hanya berdasarkan pertimbangan status kewarganegaraan, tetapi terkait erat dengan aspek proteksi berlangsungnya tumbuh kembang anak dalam setiap fase perkembangantermasuk perlindungan anak dari ancaman perdagangan manusia dan berbagai bentuk eksploitasi
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dra. Hj. Latifah Iskandar dalam paparannya menyampaikan juga bahwa pada aspek regulasi, pemenuhan akta kelahiran bagi anak sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak, pada pasal 5disebutkan bahwa “setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; pada pasal 27 disebutkan bahwa “Identitas harus diberikan sejak kelahirannya”dan pasal 28 (3), “Pembuatan akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.Hal tersebut mengisyaratkan bahwa pemenuhan Akta kelahiran bagi anak merupakan kewajiban negara dan negara dalam hal ini bersifat aktif (stelsel aktif). Amanat undang-undang Perlindungan Anak tersebut memang masih belum sepenuhnya sejalan dengan pemahaman terhadap UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan:dimanaposisi negara cenderung pasif (stelsel pasif)yaitu masyarakat harus melaporkan kepada pejabat berwenang untuk mendapatkan akta kelahiran.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY Dr. Sari Murti, SH, M.Hum salah satu Narasumber yang hadir dalam Workshop ini menuturkan bahwa hasil pantauan LPA DIY di Gunung Kidul menemukan bahwa 80 % akta kelahiran diurus melalui perangkat desa yang beberapa menjadi tidak gratis lagi karena memberikan biaya pengurusan kepada perangkat tersebut. Hasil pemetaan yang dilakukan oleh LPA DIY mengungkap permasalahan pemenuhan hak-hak anak, tertinggi adalah tentang identitas anak dimana 40% anak tidak memiliki akta lahir. Permasalahan yang muncul dalam pemenuhan akta kelahiran antara lain masih ada penduduk yang belum mengetahui informasi tentang prosedur dan tata cara serta lembaga yang diberi wewenang untuk pencatatan kelahiran yang berdampak pada keterlambatan pengajuan, biaya karena ada praktek percaloan dan lain-lain.
Permasalahan yang berkaitan kurangnya syarat administratif pengurusan juga menjadi masalah tersendiri misalnya kasus anak terlantar, Perkawinan orang tua yang belum tuntas sehingga tidak dapat menunjukkan akta nikah orang tua, anak yang dibuang oleh orang tuanya dan tidak diketahui asal usulnya, serta anak yang lahir diluar pernikahan yang syah. Menurut Sari Murti Perlu ada kebijakan berkaitan dengan permasalahan ini yang lebih berpihak pada kepentingan pemenuhan hak-hak anak (rights based).
Dari workshop muncul komitmen bersama untuk lebih menggiatkan sosialisasi dan penjangkauan layanan ke tingkat kelurahan/desa. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan program misalnya dengan menghadirkan mobil layanan akta kelahiran untuk menjangkau ke tingkat kelurahan/desa. Dengan komitmen bersama itu diharapkan target tahun 2015 di DIY seluruh anak tanpa terkecuali dapat mendapatkan aktakelahiran dengan tanpa dipungut biaya. (AN)