28 Juni 2021 - BY Admin

Perlu Sosialisasi Intensif SPPA di Masyarakat

Yogyakarta - Hadirnya Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) melalui UU No. 11 Tahun 2012 memberikan perlindungan khusus bagi anak ketika berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban maupun saksi. Anak, tetap diposisikan sebagai anak dengan segala hak-haknya.

"SPPA ini harus ditaati. Karena sebagai upaya memenuhi hak anak meski berada dalam proses hukum," jelas Kepala DP3AP2 Erlina Hidayati Sumardi kepada <I>KR<P>, kemarin.

Menurut Erlina, penting memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan SPPA ini. Sebab itulah pihaknya selalu berkoordinasi dengan berbagai pihak, seperti KPAI, Bapas maupun kepolisian dan lainnya ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan anak-anak.

"Sehingga kadang ada pemahaman yang tidak tepat. Orang tua justru cenderung membiarkan anak ketika melakukan kesalahan. Acuannya, nanti kalau ada perkara tidak diproses karena mash anak-anak. Proses diversi ini yang belum dipahami. Bahwa hukum akan tetap berjalan dengan memperhatikan hak dan kebutuhan anak. Itulah yang terus kami sosialisasikan. Memahamkan SPPA kepada masyarakat agar tidak salah paham," tegasnya.

Ditambahkan, proses pendampingan yang dimanatkan menurut Erlina bukan hanya saat dalam proses hukum, berada di lembaga pemasyarakatan maupun rehabilitas dengan terus memperhatikan kondisi anak. Tapi juga memastikan hingga kondisi lingkungan anak ketika kembali ke masyarakat.

Sementara terpisah Ketua KPAI Daerah Kota Yogyakarta Sylvi Dewajani MSc Psikolog menambahkan, SPPA yang tertuang dalam UU No. 11 tahun 2012 memang tidak terlalu popular di masyarakat. Banyak masyarakat menyangka bahwa anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dibebaskan karena sebuah permainan di wilayah aparat penegak hukum (APH). Hal ini karena memang sosialisasi atas dasar filosofi adanya SPPA belum secara menyeluruh dilakukan. 

"Masyarakat perlu banyak mendapat edukasi mengenai mengapa ada SPPA. Konsep bahwa anak yang menjadi pelaku kejahatan juga merupakan korban dari sebuah sistem sosial dan pola asuh yang diterimanya. Perlu ada sosialisasi pada masyarakat, mengenai prinsip restorasi justice yang digunakan sebagai dasar bagi munculnya SPPA. Di dalam Penjelasan Umum UU No. 11 tahun 2012 disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Selain itu juga makna Diversi, yang bukan berarti membebaskan namun mengalihkan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, dengan tujuan mengubah dan memastikan anak tidak lagi melakukan pidana kejahatan," urai Sylvi.

Dikatakan, perlu juga disosialisasikan bahwa untuk melakukan diversi ini ada persyaratannya sebagaimana tertuang di Pasal 6–15 dari UU tersebut. Tidak serta merta dilakukan diversi dengan membebaskan anak. Hukuman dilakukan di luar peradilan, misalnya anak diminta bekerja di panti jompo selama 10 bulan (tergantung dari keputusan sistem peradilannya) atau anak diminta tiap hari membersihkan jalan dan taman kota atau lainnya.  

"Tentu saja semua ini harus dipikirkan secara mendalam dalam forum SPPA yang akan dibentuk tersebut dari sisi mekanisme pelaksanaan praktis dan pengawasannya. Serta jika dimungkinkan assessmen psikologis anaknya, sebelum dan setelah dilakukan tindakan diversi tersebut," sambungnya.

Selain itu juga perlu ada informasi bahwa SPPA ini tidak hanya berlaku di Indonesia. Namun disemua negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak, baik di Eropa, Amerika atau di Negara Jiran yang juga menerapkan SPPA ini.

Lebih lanjut Sylvi menuturkan, menjadi sebuah pemikiran dari KPAID Kota Yogyakarta hingga lahir ide besar yang saat ini sedang dikerjakan berupa Polsek Ramah Anak. Pihaknya berharap rintisannya dapat selesai di akhir tahun 2021 ini. 

"Ada empat kriteria utama dalam penetapan Polsek Ramah Anak ini, yaitu adanya kelembagaan polsek yang telah berjejaring dengan berbagai sumber daya berhubungan dengan kebutuhan anak, misalnya psikolog di puskesmas, jejaring dengan dinas termasuk KPAID. Kedua, adanya SDM yang dapat menangani anak sesuai prinsip komunikasi dan interaksi dengan anak, kemudian cara melakukan penyidikannya hingga bagaimana memahami tumbuh kembang anak agar dapat berkata jujur/benar namun tanpa ada pelanggaran hak seperti kekerasan verbal maupun fisik," jelasnya.

Ketiga adanya sistem dan mekanisme dalam bentuk SOP yang memiliki perspektif anak, saat melakukan proses penyidikan. Keempat adanya sarana prasarana yang lebih memberikan rasa aman dan nyaman pada anak, bukan dilakukan di depan orang banyak tanpa ada pendamping psikologis. Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk pelaku, tapi juga yang sering harus didatangkan untuk proses BAP adalah saksi dan korban.  

"Dari sisi korban, sebetulnya sudah ada pula lembaga yang bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan fisik, psikis dan sosialnya, yaitu LPSK. KPAID dalam hal ini tentu saja lebih banyak memonitor dan memastikan bahwa baik korban maupun saksi telah mendapat pendampingan dari pihak LPSK," ungkapnya.

Dijelaskan lebih lanjut, KPAI tidak boleh mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Maka posisi KPAID dalam hal ini memainkan peran, yakni di hulu masalah menyiapkan keluarga tangguh dan tahan sehingga dapat secara harmoni memberikan pola asuh dan pengembangan pribadi pada putra-putrinya secara aman dan nyaman. Selain itu juga mengadvokasi secara sosial dan budaya pada masyarakat, untuk menghidupkan berbagai aktivitas yang dapat menjadi alternatif pengisi waktu luang bagi anak-anak secara sehat jasmani, psikis maupun rohani.

Di tengah proses hukum, tugas KPAID hanya memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak anak terjadi. Pasca proses, perlu dipikirkan bagaimana proses rehabilitasi mental dan sosial anak pelaku (ABH) agar dapat kembali menjadi individu yang produktif secara sehat dan bahagia. Dari ketiga hal inilah, memang tahun 2021 KPAID Kota Yogyakarta membuat Forum SPPA yang selain menjadi garda dalam proses penegakan hukum pidana anak sesuai UU PA dan UU SPPA, juga melakukan berbagai usulan proses diversi (pengalihan hukuman) yang tepat dan mengandung unsur edukatif. 

Kembali Sylvi menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat masih merasa pelaku ABH harus dihukum berat. Masyarakat belum melihat secara mendalam latar belakang mengapa anak melakukan kejadian kejahatan tersebut. Masyarakat belum melihat bahwa dalam usia anak, pelaku adalah korban dari sebuah sistem. Masyarakat melihat bahwa lembaga pemasyarakatan adalah satu-satunya tempat agar anak bisa menjadi jera terhadap perbuatannya. Padahal, dengan memasukkan anak ke Lapas, seringkali anak justru belajar kriminal lebih intensif dari narapidana lain. Maka memang perlu dipikirkan bagaimana proses yang lebih tepat, sistem pidana yang mampu memberikan sisi edukasi dalam hal karakter adalah pekerjaan rumah besar bagi semua pihak. 

"KPAID Kota Yogyakarta saat ini sedang merintis Forum SPPA di Kota Yogyakarta yang berisi Aparat Penegak Hukum, OPD terkait dan KPAID. Tujuan besarnya untuk membangun sebuah program Pidana Anak yang Lebih Edukatif. Sehingga selesai dari menjalani hukuman yang diterima, anak tidak lagi kembali melakukan kejahatan," ungkap Sylvi. (Feb)

KR

Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?