3 Februari 2023 - BY Admin

Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

Yogyakarta, DP3AP2 DIY (03/02/2023) – Sejak undang-undang (UU) tentang affirmative action disahkan, terhitung sudah melewati tiga kali proses Pemilihan Umum (Pemilu) hingga saat ini. Akan tetapi di DIY, keterwakilan perempuan di parlemen masih belum bisa mencapai 30 persen. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya mencapai target tersebut, antara lain keraguan masyarakat kepada calon legislatif (caleg) perempuan. Selain itu, terjadi sindrome queen bee, yaitu persaingan tidak sehat antara caleg perempuan. Serta masih adanya maskulinitas dalam diri partai politik (parpol).

Diperlukan strategi khusus untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Pertama, meninngkatkan kapasitas caleg perempuan. Kapasitas yang dimaksud meliputi kemampuan public speaking atau kemampuan berbicara di depan umum. Kemampuan lain yang diperlukan adalah pemahaman tentang isu gender dan pemberdayaan. Figur caleg perempuan perlu diperkuat dengan berbagai soft skill dan pengetahuan yang luas tentang isu-isu pembangunan dan pemberdayaan agar mereka responsif terhadap keadaan masyarakat dan mampu merumuskan kebijakan untuk menyelesaikannya. Untuk itu diperlukan kesadaran dari caleg perempuan untuk lebih aktif mengikuti kegiatan yang membantu menambah kapasitas mereka dalam memahami isu-isu gender.

Kedua, memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen dan berusaha mengubah stigma negatif tentang pemimpin perempuan. Hingga saat ini masih dijumpai pandangan di masyarakat bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Adanya stereotipe perempuan yang dianggap emosional, tidak rasional, dan tidak mampu mengambil keputusan merupakan salah satu faktor munculnya masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin perempuan.

Diperlukan upaya untuk memberikan pemahaman bahwa perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki dalam kepemimpinan.upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan kesetaraan gender yang komprehensif melalui sosialisasi kepada masyarakat dan memasukkan muatan kesetaraan gender pada kurikulum institusi pendidikan.

Partai politik juga perlu lebih responsif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam proses pemilihan. Menurut penelitian Nadezhda Svedova, masih banyak partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Hasil penelitian tersebut masih relevan dengan keadaan saat ini di mana masih dapat dijumpai kebijakan partai yang cenderung berkarakter ‘maskulin’. Salah satunya penentuan nomer urut caleg dalam kertas suara seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

Dilihat dari data tersebut, jumlah perempuan yang menduduki nomor urut awal (1, 2, 3) masih di bawah laki-laki. Padahal menurut penelitian dari Cakra Wikara Indonesia (CWI) pada tahun 2021, caleg dengan nomor urut awal (1, 2, 3) memiliki potensi terpilih lebih besar. CWI sendiri merupakan peneliti sosial politik dengan perspektif gender. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari pengurus partai untuk lebih responsif terhadap isu-isu kesetaraan gender dan mengubah kebijakan mereka yang masih bersifat maskulin.

Memberikan kuota lebih banyak kepada perempuan untuk menjadi pengurus partai dapat menjadi salah satu strategi meningkatkan responsivitas partai. Pada 2023 ini, kegiatan politik akan semakin tinggi intensitasnya, sehingga ini menjadi waktu yang tepat untuk menerapkan beberapa strategi di atas guna meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen.

Kesadaran dan komitmen para stakeholder menjadi salah satu kunci utama dalam mensukseskan strategi-strategi tersebut. Tidak boleh lagi ada diskriminasi dalam proses pencalonan dan pemilihan caleg antara laki-laki dan perempuan. Dengan begitu diharapkan pada tahun 2024 Indonesia akan mencapai kuota afirmatif 30 persen. (*)-d

Sumber : KR

Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?