10 Oktober 2022 - BY Admin

Teori Macapat dan Psikologi Perkembangan: Keistimewaan Budaya Daerah Lokal

Oleh: Himmatul Amalia (Fakultas Psikologi UGM)

Pernahkah Anda mendengar sebutan “Macapat”? Dalam budaya Jawa, Macapat atau Tembang Macapat adalah jenis syair puisi tradisional yang khas dan telah ada sejak masa kerajaan di zaman Jawa Baru. Hingga saat ini, macapat masih senantiasa melekat di kehidupan masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi. Macapat terdiri dari 15 “judul” tembang, yaitu Asmaradana, Baladak, Dhandhanggula, Durma, Gambuh, Girisa, Jurudemung, Kinanthi, Maskumambang, Megatruh, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, dan Wirangrong. Namun, empat tembang di antaranya (Balabak, Wirangrong, Girisa, dan Jurudemung) saat ini kurang dikenal di masyarakat. Macapat yang lebih umum dilagukan adalah macapat yang terdiri dari sebelas tembang saja. 

Tak hanya menjadi syair puisi yang dilagukan dalam keseharian, tembang macapat memiliki makna mendalam dalam bait-bait lirik di setiap “metrum” atau nama judul lagunya. Secara filosofis, kesebelas tembang macapat diartikan sebagai gambaran siklus hidup seorang manusia. Macapat menjelaskan perjalanan hidup manusia yang diawali sejak lahir di dunia (mijil), menjalani masa anak-anak (maskumambang), kemudian masa remaja (sinom). Setelahnya ada masa pencarian jati diri (durma), dilanjutkan masa bercinta dan menyukai lawan jenis (asmaradana), kemesraan berumah tangga (kinanthi), dan mencari ketenteraman dan kebahagiaan (dhandhanggula). Manusia kemudian mampu menemukan hakikat tujuan hidup (gambuh), mulai meninggalkan kenikmatan dan keramaian dunia (pangkur), dan pada akhirnya menemui ajal kematian (megatruh) untuk kemudian menjadi mayat/ jenazah (pocung). 

Demikian bermakna filosofi kehidupan manusia dalam rangkaian tembang macapat. Namun, ada sisi yang lebih luar biasa dari warisan budaya yang telah berusia ratusan abad ini. Jika dilihat melalui sudut pandang ilmu modern, urutan siklus hidup manusia yang ada dalam filosofi macapat ternyata memiliki kemiripan dengan teori psikologi perkembangan yang populer saat ini. Menurut ilmu psikologi, perkembangan manusia terbagi menjadi delapan tahapan, yaitu Prenatal Period (pembentukan janin hingga kelahiran), Infancy (usia 0-24 bulan), Early Childhood (usia 3-5 tahun), Middle and Late Childhood (usia 6-10 tahun), Adolescence (usia 11-21 tahun), Early Aduthood (usia 20an dan 30an), Middle Adulthood (usia 40an dan 50an), dan Late Adulthood (usia 60an hingga kematian). 



Pola ini memiliki kemiripan dan tumpang tindih dengan sebelas urutan kehidupan manusia yang ada di tembang macapat. Jika dibandingkan menggunakan tabel sederhana, kita dapat melihat persinggungan di antara keduanya.

 

Teori Psikologi Perkembangan Modern

Usia

Filosofi Tembang Macapat

Arti 

Prenatal Period 

Masa pembentukan janin hingga kelahiran

Mijil

Kelahiran

Infancy 

0-24 bulan

Maskumambang

Masa anak-anak

Early Childhood 

3-5 tahun

Middle and Late Childhood

6-10 tahun

Adolescence

11-21 tahun

Sinom

masa remaja 

Durma

masa pencarian jati diri

Early Aduthood

20an dan 30an

Asmaradana

masa bercinta dan menyukai lawan jenis

Kinanthi

kemesraan berumah tangga

Middle Adulthood 

40an dan 50an

Dhandhanggula

mencari ketenteraman dan kebahagiaan 

Gambuh

menemukan hakikat tujuan hidup

Late Adulthood

60an hingga kematian

Pangkur

meninggalkan kenikmatan dan keramaian dunia 

Megatruh

menemui ajal kematian

Pocung

menjadi mayat/ jenazah

 

Temuan tentang adanya hubungan antara filosofi macapat dan psikologi perkembangan ini sekali lagi menunjukkan betapa istimewanya budaya Jawa dengan segala kekayaan intelektualnya. Penting bagi  kita untuk bisa mengerti, menghayati, dan tentu saja menerapkan makna dari filosofi macapat ini. Dengan mengetahui adanya filosofi macapat dan keterkaitannya dengan psikologi perkembangan, harapannya kita dapat lebih memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik, beserta setiap tantangan dan potensi yang dimiliki sesuai tahapan usia masing-masing. Sebagai contoh, remaja yang sedang berada dalam masa “Sinom” memiliki kebutuhan untuk diakui, dihargai, dan bereksplorasi. Sebagai orang tua yang mengerti budaya, wajib bagi mereka untuk bisa memberikan ruang bagi anaknya untuk mengembangkan dirinya sendiri, tidak lagi terus didampingi seperti saat ia masih dalam masa “Maskumambang” atau masa anak-anak.

Tak hanya untuk dipelajari sendiri, kearifan budaya ini juga perlu untuk diperkenalkan dan dilestarikan melalui generasi-generasi selanjutnya. Setiap diri kita dapat turut mengambil peran sebagai seorang pendidik, baik itu sebagai orang tua dalam pengasuhan anak, kakak kepada adik, maupun guru dalam melaksanakan pembelajaran bagi siswanya. Jadikan generasi penerus kita untuk terus ingat dan terikat dengan budayanya sendiri. Beri pemahaman bahwa budaya tidak hanya bersifat tradisi tetapi juga memiliki makna, filosofi, dan pelajaran hidup yang bisa diterapkan dan dijadikan pedoman yang baik bagi setiap diri mereka.

Jangan pernah melupakan budaya, karena budaya layaknya pohon dalam perjalanan sebuah bangsa. Budaya adalah akar, tertancap kuat di dalam jiwa sebagai pedoman hidup. Budaya adalah batang pohon, mampu menjadi sandaran kekuatan bangsa dan menjadi identitas tersendiri yang membedakannya dari bangsa lainnya. Budaya adalah cabang-cabang rindang, senantiasa memayungi dan melindungi bangsa dalam mewujudkan cita-citanya. Karena itu, budaya bukanlah tanda kemunduran, melainkan sebuah faktor pendukung yang besar bagi sebuah bangsa untuk dapat mengejar kemajuan di persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya.

 

Referensi:

Santosa, P. (2016). Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat (Community Social Functions of Macapat). Widyaparwa44(2), 85-97.

Santrock, J. W. (2019). Life-span development / John W. Santrock, University of Texas at Dallas. New York: McGraw-Hill Education.

Silakan Pilih CS

Pengaduan P2TPAKK
Telekonseling Tesaga
Layanan SAPA 129
Tutup
Ada yang bisa kami bantu?